Ketika Akhlak Dikesampingkan

Berita kian hari kian berisik. Media menjadikan sasaran empuk kepada orang yang dipandang baik namun tersandung oleh satu aib hingga dilegitimasikan bahwa orang yang fanatik terhadap agama ini pasti penyuka perempuan dan maksiat. Sementara itu kepada beberapa orang yang terlihat berperangai buruk digunakan standar ganda, praduga tak bersalah didengung-dengungkan, seolah kita wajib memberikan pengampunan atas berbagai kesalahan yang nampak.

Rokok dan Tato

Contoh yang paling kentara adalah berita beberapa hari ini yang menyuarakan tentang seorang Perempuan yang menjadi Menteri. Tidak ada yang salah dengan gender perempuannya, namun yang jadi soal adalah perilakunya yang dipertanyakan oleh berbagai kalangan. Pasalnya Perempuan ini dengan tidak canggung merokok didepan wartawan. Ketika diwawancarai pun seolah Ibu ini ingin menampilkan sisi kemaskulinannya. Salah satunya dengan memperlihatkan tato di kakinya. Yang jadi menarik adalah, ketika sebagian orang mempertanyakan sikap Bu Menteri tersebut, ada sebagian orang yang tetap bersikukuh kemudian membela dengan sporadis. Dagelan macam apa lagi ini?

Bukannya saya ingin mendiskreditkan secara tajam orang yang merokok dan bertato, akan tetapi bukannya kita masih memiliki norma sosial, norma adat dan norma-norma lain yang menjadi semacam peraturan tidak tertulis didalam diri kita. Apalagi bila disandingkan dengan norma agama (Islam), jelas bahwa tato tidak diperbolehkan, sedangkan rokok jelas posisinya, lebih banyak buruknya daripada baiknya. Paling tidak ketika kita memilih untuk tidak merokok, kita punya dua kemenangan, pertama bisa saving hingga jutaan rupiah pertahun, kedua kita telah berhasil menjauh dari perbuatan yang sia-sia. Lagi pula kalau kita boleh jujur di hati yang terdalam, kita lebih memilih mana untuk dijadikan pasangan hidup? Orang bertato dan perokok atau orang yang sholeh yang jauh dari perbuatan tercela? Jujur saja kita pasti memilih yang kedua.

Beberapa waktu yang lalu, juga ada adegan yang lucu, dimana seorang anak dari orang nomer satu Negeri ini marah-marah kepada wartawan, sikapnya juga jauh dari senyuman bahkan terkesan angkuh. Tapi lagi-lagi bukannya malah menunjukkan sikap prihatin, sebagian orang malah memuji sikap anak tersebut. Dikatakan oleh mereka sikap ceplas-ceplos tersebut adalah contoh yang baik dan perlu ditiru.

Hal yang sama juga terjadi pada orang nomer satu di Jakarta, meskipun suka berbicara asal tanpa tata karma dan menyinggung umat muslim, suka berperangai kasar, seringkali marah kepada bawahannya, dan tak jarang melontarkan kata-kata yang tidak enak di dengar. Tapi sekali lagi, karena beliau dianggap mendukung gerakan anti korupsi, gelombang pembelaan dari pendukungnya pun mengalir. Padahal taukah kita, kalau warga yang beretnis sama dengannya sedang ketar ketir karena takut terjadi kerusuhan rasial yang dipicu oleh orang ini? Umat muslim pun geram terhadapnya, tetapi Ulama dan Kiai selalu berujar, “JANGAN kita MEMBENCI ETNISnya tapi cukup membenci sikap personal orangnya karena biar bagaimanapun kita wajib melindungi orang baik meskipun berbeda etnis dan agama.”

Kita yang waras sejatinya heran dengan sikap orang-orang ini yang membela mati-matian terhadap orang yang didukungnya. Bukankah kampanye pemilu sudah usai? Lantas mengapa kita tidak mau bersikap lebih dewasa, objektif dan rasional? Bukankah kita sama-sama ingin membangun negeri tercinta ini? Maka bentuk kewarasan yang bisa kita lakukan adalah bersikap konstruktif terhadap pemerintahan saat ini. Kita bilang bagus jika memang pemerintahan mendukung kebijakan yang pro rakyat, namun juga kita harus secara ksatria mengakui kekurangan jika memang pemerintah melakukan kesalahan. Jangan Cuma jadi Pembebek.

Apakah memang kita sudah kehilangan adat ketimuran yang katanya kental dengan kesopanan kesantunan, keramahan, Murah senyum? Bukankah kita seharusnya menghargai orang baik yang telah berupaya bersikap baik? Apalagi orang-orang yang dikenal dengan sebutan Ustad, Habib, Kiai dan Ulama, mengapa kita tidak berbaik sangka terhadap mereka? Jikalau kita merasa kurang sreg dengan beliau mengapa kita tidak mencoba mendengar ceramahnya? Ikut pengajiannya? Atau membaca tulisan-tulisannya?

Kita sepakat bahwa korupsi itu adalah Kejahatan luar biasa (extraordinary crime) tapi kita tidak serta merta bilang bahwa tidak mengapa orang tersebut bersikap kasar, kotor, pemarah, asalkan orang tersebut serius terhadap pemberantasan korupsi, Tidak!. Memangnya kita ingin punya pasangan hidup, saudara ataupun atasan yang tegas terhadap sesuatu hal akan tetapi sikapnya terhadap kita cuek, acuh, gampang emosi, tidak jarang bersikap keras, merokok, bertato dan stigma lain yang kental di masyarakat? Tentu saja tidak bukan.

Padahal Nabi Muhammad SAW telah mengajarkan kepada umatnya bila ingin menjadi Muslim yang benar adalah dengan berperilaku lembut, sopan, baik, penyayang, rendah hati dan sederhana. Bukankah manusia terbaik itu adalah manusia yang paling bermanfaat bagi makhluk lainnya? Bagaimana seseorang bisa dikatakan baik bila sikapnya saja kurang etis?

Maka dari itu di akhir tulisan saya yang singkat ini, marilah kita merenung kembali, apakah kriteria menjadi orang baik itu? Apakah sekedar terlihat anti kepada korupsi? Apakah sekedar terlihat sederhana? Apakah sekedar terlihat “blusukan”? Apakah sekedar terlihat murah senyum dan dekat dengan rakyat/orang lain? Atau ada standar lain yang wajib kita pakai? Tentu bila kita muslim, standar yang dipakai adalah Al Qur’an dan Hadits, bahkan kita sebetulnya telah memiliki contoh terbaik yakni Nabi Muhammad SAW.

Oleh karenanya, wajib bagi kita belajar menjadi orang baik yang membaikkan, mudah-mudahan langkah kita dilapangkan oleh Alloh SWT.

Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezeki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan: "Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu." Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada istri-istri yang suci dan mereka kekal di dalamnya
. (QS. Al Baqoroh: 25)

Wahai Aisyah! Sesungguhnya Allah itu Maha Lembut yang menyukai kelembutan. Allah akan memberikan kepada orang yang bersikap lembut sesuatu yang tidak diberikan kepada orang yang bersikap keras dan kepada yang lainnya. (HR. Muslim)

Related Posts:

2 Responses to "Ketika Akhlak Dikesampingkan"

  1. Keren tulisannya ^_^b

    Karena Indonesia sudah diberikan alur seperti sekarang ini, maka yang terbaik hari ini adalah berdoa dengan selembut2nya dan berusaha dengan sekeras2nya. Pantang menyerah dengan keadaan, mari bersimbah keringat kesungguhan

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima Kasih mbak Ave Ry, mudah-mudahan kita termasuk golongan yang pantang menyerah demi menuju kebaikan yang sebenar-benarnya

      Delete

Silahkan berkomentar dengan sopan

Bila tidak memiliki ID blogger bisa menggunakan Name/URL lalu masukkan Nama dan URL facebook/twitter anda. hindari menggunakan Anonim, Terima kasih.